Nama :nathasa Dwi aryani
Kelas:xll ips ¹
Sejarah minat

Pemikiran dan pendapat
JAKARTA - Pada sambutannya di perayaan HUT TNI ke-72, Presiden Joko Widodo menyinggung soal pandangan politik Panglima Besar Jenderal Sudirman.


"Saya ingat pesan Jenderal Besar Soedirman. Bahwa politik tentara adalah politik negara, loyalitas tentara adalah loyalitas untuk kepentingan negara," tegas Jokowi di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten.

Seperti diketahui bahwa Jenderal Besar Sudirman merupakan salah satu pahlawan nasional yang dikenal dengan strategi perang gerilyanya yang membuat pasukan Belanda ketar-ketir saat itu.
Menarik memang menilik kembali sepak terjang Jenderal Besar Sudirman, apalagi soal pandangan politiknya. Banyak yang bertanya-tanya apakah Jenderal Sudirman juga berpolitik.
Dalam buku 'Panglima Besar Jenderal Sudirman: Kader Muhammadiyah' nampak jelas sekali penegasan Jenderal Sudirman tentang politik.
Dalam buku 'Panglima Besar Jenderal Sudirman: Kader Muhammadiyah' nampak jelas sekali penegasan Jenderal Sudirman tentang politik.
“Tentara tidak berpolitik, tidak memihak kepada golongan, atau partai politik tertentu. Politik negara adalah politik tentara.” Kalimat itu diucapkan Panglima Besar Jenderal Sudirman, pahlawan nasional yang riwayatnya ditulis dengan tinta emas dalam sejarah Indonesia. Namun dalam perjalanan karirnya, Jenderal Sudirman juga pernah berada pada suatu persoalan politik yang membuatnya harus mengambil sikap tegas. Berikut peristiwa yang pernah menggiring Jenderal Besar Sudirman ke persoalan politik.

Kelebihan dan kekurangan                                   

Kebaikkan mampu membantu bangsa indonesia dalam menghadapi peperangan
kelemahan terlalu mudah percaya kepada penjajah 

Hal menarik film tersebut 


Jenderal Soedirman digarap Viva Westi dan didukung penuh TNI AD. Filmnya bukan jenis biopik yang menceritakan kehidupan sang panglima besar dari kecil hingga dewasa. Yang ia garap momen terpenting heroisme sang jenderal saat memutuskan bergerilya keluar-masuk hutan.
Saat pemimpin sipil ditangkap Belanda usai Agresi Militer II, Jenderal Soedirman memilih tak menyerah. Meski dalam kondisi sakit--ia sampai ditandu segala--Soedirman pantang menyerah. Pengorbanan macam begini yang rasanya tak terlihat lagi dari pemimpin masa kini. Film ini jadi pengingat kita semua, dan dengan demikian patut ditonton.

Efek CGI Saat Agresi Militer Belanda II

Agresi Militer Belanda kedua berlangsung pada 19 Desember 1948. Kala itu, Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia menyerang ibukota yang waktu itu berkedudukan di Yogyakarta. Pemimpin republik seperti Sukarno, Hatta dan Sjahrir ditangkap Belanda.
Militer Belanda menyerang Pangkalan Udara Maguwo. Adegan penyerangan ke Yogyakarta digambarkan dengan baik oleh Viva Westi di Jenderal Soedirman. Ia memanfaatkan teknologi animasi komputer grafis atau CGI (computer graphic imagery). Pesawat-pesawat tempur Belanda dihadirkan Viva dalam bentuk animasi komputer--yang untuk ukuran film Indonesia--tergolong baik.  

Akting Adipati Dolken Sebagai Jenderal Soedirman

Adipati Dolken kian pandai memilih peran di film layar lebar. Wajahnya yang imut dan ganteng tentu bisa jadi modal baginya untuk berakting di film-film bertema cinta remaja. Setelah puas dengan peran-peran tipikal khas remaja, Adipati mencoba karakter watak. Ia jadi Bimbim di Slank Nggak Ada Matinya serta main film epik Sang Kiai, film biografi KH Hasyim Asy'ari.
Lewat perannya sebagai Jenderal Soedirman, Adipati naik kelas satu tingkat lagi. Ia berhasil membawakan peran sang jenderal dengan baik. Walau terlihat lebih muda dan lebih ganteng dari Soedirman asli, penjiwaan Adipati tampak total.

Secuil Kisah Tan Malaka

Faktanya, menurut sejarah, Jenderal Soedirman memiliki kedekatan dengan Tan Malaka (diperankan Mathias Muchus), salah satu pendiri bangsa yang berhaluan komunis. Baik Soedirman dan Tan Malaka percaya Indonesia harus merdeka 100 persen.
Situasi kemudian membuat keduanya berpisah jalan. Soedirman memilih jalan militer dengan bersetia pada pemimpin republik (Sukarno-Hatta), sedang Tan Malaka yang berhaluan komunis memilih jalan membuat pasukan sendiri. Sejarah kemudian mencatat langkah yang dipilih Tan Malaka berujung pada kematiannya yang misterius di tangan tentara republik.
Di zaman Orde Baru, secuil kisah Tan Malaka ini takkan mungkin bisa muncul di film. Tapi di Jenderal Soedirman kisahnya muncul--walau mungkin bakal memicu kontroversi bagi pengagumnya maupun sejarawan. Hal ini memberi pembelajaran tersendiri bagi kita, generasi penerus, untuk belajar dari sejarah meskipun pahit.
Dampak positif  dan negatif tentang film tersebut

Setelah sukses mengangkat film biografi para founding father Bangsa Indonesia seperti Sukarno, Hadratu al-Syaikh Hasyim Asyari, Cokroaminoto, baru-baru ini dirilis sebuah film sejarah mengangkat Biografi Pejuang dan Pahlawan Nasional Jenderal Besar Sudirman.
Sudirman adalah tokoh kunci kemerdekaan Republik Indonesia. Tanpa perlawanan Sudirman, Bangsa Indonesia takkan pernah merdeka seratus persen! Ketika para elit bangsa ini sibuk berunding mengkapling-kapling tanah Indonesia, Sudirman bersama pasukannya menyelinap ke hutan-hutan, menyusun strategi peperangan, mengkonsolidasikan perlawanan, melancarkan perang gerilya, perang semesta


Artikel  Jenderal Soedirman
Bagi bangsa Indonesia, Panglima Besar Jenderal Sudirman adalah tokoh yang begitu populer. Ia adalah pahlawan pejuang yang berasal dari kalangan angkatan bersenjata. Bahkan karena ketokohan dan kepeloporannya di bidang ketentaraan, maka Jenderal Sudirman kemudian dikenal sebagai Bapak TNI. Sekalipun secara formal ia bukan lulusan akademi militer, namun karena bakat, semangat dan disiplin yang tinggi serta rasa tanggung jawab dan panggilan hati nurani untuk berjuang mencapai dan menegakkan kemerdekaan Indonesia, maka Sudirman cepat mencuat sebagai pemimpin di lingkungan angkatan perang Indonesia. Sudirman berasal dari keturunan rakyat biasa, yakni dari pasangan Karsid Kartowiroji dan Siyem. Ia dilahirkan di desa Bodaskarangjati, Purbalingga pada 24 Januari 1916. Sejak kecil, Sudirman sudah menjadi anak angkat keluarga Tjokrosoenarjo, dengan harapan agar kelak ia bisa sekolah. Istri Tjokrosoenarjo itu tidak lain adalah kakak dari Siyem (ibu kandung Sudirman).
            Sebagai Bapak TNI, ia bukan disimbolkan oleh tanda pangkat, bintang atau tanda jasa, namun ditandai dengan semangat dan nurani yang tajam sebagai seorang pejuang. Pakaian khasnya, adalah destar atau ikat wulung (ikat kepala berwarna hitam), baju mantol hijau tentara dan keris yang terselip. Ia sangat baik dengan anak buah, arif dan tidak bersikap keras, tetapi lebih menonjolkan watak kebapakannya. Itulah beberapa keistimewaan Sudirman yang jarang ditetemukan pada diri pimpinan tentara dan mungkin juga pemimpin nasional yang lain. Sebagaimana layaknya masyarakat Indonesia yang dikenal religius, Sudirman sebagai anak desa di Jawa, setiap sore biasa pergi ke surau atau langgar untuk belajar membaca Al-Quran dan pengetahuan agama Islam. Ia tumbuh di tengah-tengah keluarga dan masyarakat Jawa yang muslim sehingga wajar kalau sejak kecil sudah belajar agama dan sering dipanggil “kajine.”
            Sudirman mengawali dan membina debut ketokohannya dari lingkungan sipil atau lingkungan sosial kemasyarakatan. Sejak sekolah di MULO Wiworotomo, Sudirman sudah aktif di dalam kegiatan organisasi. Di samping aktif berorganisasi, Sudirman merupakan peserta didik yang tekun dan ulet. Bahkan di antara teman-temannya, Sudirman menjadi cermin sekaligus tempat bertanya soal pelajaran di sekolah, sehingga ia terkenal sebagai guru kecil atau pembantu guru. Ia kemudian menjadi aktivis Muhammadiyah di Cilacap, antara lain aktif di kepanduan Muhammadiyah atau yang terkenal dengan sebutan Hizboel Wathan (HW), juga di Pemuda Muhammadiyah. Di lingkungan HW dan dan Pemuda Muhammadiyah ini, pembinaan diri Sudirman menjadi semakin efektif. Ketakwaan, kedisiplinan, kerja keras, tanggung jawab dan jiwa kepemimpinannya lebih terpupuk dan semakin matang. Oleh karena aktivitas, tanggung jawab, dan jiwa kepemimpinannya, Sudirman dipercaya sebagai pimpinan HW, Sudirman juga pernah menjadi pimpinan Pemuda Muhammadiyah Wilayah Jawa Tengah. Tidak hanya itu, ternyata Sudirman juga seorang pendidik dan guru di lingkungan pendidikan HIS Muhammadiyah, sekalipun secara formal Sudirman bukan lulusan dari pendidikan guru. Namun dengan kemauan dan kemampuan yang dimiliki, ternyata Sudirman mampu tampil sebagai guru yang andal. Pada waktu diadakan pemilihan kepala sekolah, ternyata tanpa pernah dibayangkan, Sudirman terpilih sebagai Kepala Sekolah HIS Muhammmadiyah Cilacap. Sebagai pendidik di lingkungan pendidikan Muhammadiyah, Sudirman memiliki obsesi untuk memajukan pendidikan kaum bumiputera. Ia sangat berkomitmen dan berpandangan tegas seperti halnya Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara, bahwa melalui pendidikan bumiputera yang maju akan dapat mencerdaskan kehidupan masyarakat, sebagai langkah strategis untuk mengikis pengaruh ideologi yang dilakukan oleh penjajah. Setelah beranjak dewasa, Sudirman dikenal sebagai da’i kondang di wilayah Kedu dan Banyumas.
Memasuki masa pendudukan Jepang, Sudirman tampil sebagai tokoh yang cukup dewasa, arif, dan tetap rendah hati. Jiwa kepemimpinannya begitu menonjol. Ia sangat memperhatikan nasib masyarakat. Pada masa pendudukan Jepang, banyak anggota masyarakat menderita dan jatuh miskin. Sudirman mencoba membantunya dengan cara membentuk koperasi dagang yang diberi nama Perkoperasian Bangsa Indonesia atau Perbi. Koperasi ini ternyata dapat memperingan beban hidup masyarakat Cilacap. Sudirman pada waktu itu juga berusaha membuka kembali sekolah Muhammadiyah yang pernah ditutup oleh Belanda. Usahanya pun berhasil setelah mengalami berbagai kesulitan. Dengan ketokohan Sudirman ini telah menimbulkan kekhawatiran bagi Jepang. Oleh karena itu, Jepang mencoba memanfaatkan ketokohan Sudirman ini untuk kepentingan Jepang sekaligus secara politis untuk membatasi ruang gerak Sudirman. Sudirman kemudian diangkat sebagai Syu Sangi kai (Dewan Penasehat di tingkat daerah karesidenan). Pada waktu Jepang membentuk pasukan keamanan Pembela Tanah Air (PETA), Sudirman pun direkrut, dan kemudian dipercaya sebagai Daidanco (komandan batalion PETA) di Banyumas.
            Demikian juga pada masa kependudukan Belanda, saat Sudirman dalam keadaan sakit dan dalam perawatan di rumahnya Bintaran, Yogyakarta, situasi politik nasional semakin memanas. Pada November 1948, hubungan antara Indonesia dengan Belanda semakin memburuk. Belanda terus berusaha meningkatkan kekuatan bersenjatanya. Menghadapi perkembangan yang semakin memburuk itu, sekalipun dalam keadaan sakit, Sudirman tetap melakukan koordinasi dengan para komandan agar semua kekuatan bersenjata bersiap siaga.
            Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan terhadap RI dengan menyerang ibukota RI Yogyakarta guna menangkap  pemimpin-pemimpin pemerintah dan merobohkan pemerintah RI. Hari itu juga Jenderal Sudirman meninggalkan Yogyakarta dan memulai perjalanan gerilya yang berlangsung kurang lebih tujuh bulan lamanya. Buat seorang yang masih sakit, perjalanan seperti itu bukanlah perjalanan yang ringan, tak jarang Sudirman kekurangan makanan dan obat-obatan. Di samping itu, Belanda juga selalu berusaha menangkapnya.
Pada tanggal 29 Januari 1950, Jenderal Sudirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada 1997, ia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh tiga jenderal di RI sampai sekarang, yaitu Soeharto, Abdul Haris Nasution dan dirinya sendiri.
            Perjalanan hidup Sudirman telah meletakkan dasar-dasar kepribadian, karakter dan membangun jiwa kepemimpinan Sudirman. Tokoh Sudirman adalah sosok yang pantas untuk diteladani. Ia seorang pribadi yang senang kerja keras, disiplin, jujur dengan empati yang tinggi. Ia adalah seorang pemimpin yang demokratis dan bertanggung jawab, sangat menghargai sesama dan rela berkorban untuk masyarakatnya, serta membela anak buahnya. Perjalanan hidup dan jiwa kepemimpinan Sudirman itu dibangun di tengah-tengah masyarakat dan diabdikan untuk kepentingan masyarakat dan bangsanya.
            Dengan realitas tersebut, sudah sepantasnya sosok Sudirman dengan segala dinamika hidup dan perjuangannya selalu kita kenang dan dijadikan cermin serta teladan bagi bangsa Indonesia. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini, dimana bangsa kita sedang mengalami krisis keteladanan dan krisis kepemimpinan. Rasa percaya antarsesama komponen bangsa semakin menipis. Kehidupan berkebangsaan dan makna nasionalisme menjadi sebuah pertanyaan besar. Rasa kepercayaan sebagian masyarakat terhadap pemerintah, lembaga legislatif dan juga yudikatif mulai meluntur. Banyak anggota masyarakat yang kecewa karena melihat perilaku para pejabat dan pimpinannya yang menyalahgunakan wewenang, tidak peka terhadap kepentingan rakyat, dan lebih mementingkan kepentingan pribadi atau partainya. Begitu juga tidak sedikit produk hukum yang dihasilkan dan pelaksanaan yang dijalankan oleh aparat penegak hukum dirasakan kurang berpihak kepada rakyat. Yang lebih mengkhawatirkan adalah lunturnya semangat kebangsaan dan identitas nasional. Kondisi ini tentu akan mengancam eksistensi bangsa Indonesia.  Menghadapi problem semacam itu perlu dilakukan upaya-upaya antara lain menemukan alat perekat persatuan dan kesatuan serta simbol-simbol untuk meneguhkan identitas dan rasa kebangsaan Indonesia. Upaya ini misalnya dengan menggali dan mengkaji kembali peran serta nilai-nilai perjuangan dari para tokoh dan pemimpin bangsa, seperti kepemimpinan Sudirman dalam memerankan ketokohannya di masyarakat, sejak ia sekolah di Wiworotomo, sampai menjadi pimpinan HW dan Pemuda Muhammadiyah, bahkan sampai saat memimmpin perang gerilya bersama masyarakat.

Sumber
Soedirman





x
Jamaluddin Mohammad
Jamaluddin Mohammadwiraswasta
Bekerja di Komunitas Seniman Santri (KSS) - Tak pernah berhenti belajar: belajar melihat, belajar mendengar, belajar merasakan, dan belajar menunda penilaian.

HIBURAN

"Kegagalan" Film Jenderal Soedirman

30 Agustus 2015   22:14 Diperbarui: 30 Agustus 2015   22:14
2452 0 0

4 of 5



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review film jendral.Sudirman( Johannes feron)

Review film Ir. Soekarno 2013 (Cok Andhika)

Review film soekarno (M.S Adam)